SOERATIN, TAN MALAKA, SOEKARNO.. MAAFKAN KAMI
IN..DO..NE..SIA… kalimat seperti itu bisa
berulang puluhan kali selama 90 menit di Gelora Bung Karno ketika Tim
Nasional Indonesia bertanding. Namun apa yang ada dipikiran para
supporter ataupun rakyat Indonesia pastilah sama, mereka rindu kejayaan,
mereka haus kemenangan, mereka monophause euphoria. Apa dosa rakyat dan
supporter Indonesia sehingga mereka harus menerima kenyataan yang
terjadi di dalam tubuh Timnas dan PSSI. Belum lama supporter berontak
seakan marah dengan pencapaian Timnas era Nurdin Halid, sekarang mereka
disuguhkan drama yang lebih ironis dibanding drama-drama sebelumnya.
Lakon diperankan aktor-aktor baru namun diproduseri oleh orang-orang
lama-lama di balik layar. Publik tau itu, tapi publik hanyalah penonton
sejati lakon-lakon tersebut tanpa bisa berbuat banyak. Kalau saja kita
teliti sebenarnya banyak hal yang bisa “dikuliti” dari sepakbola
Indonesia. Nasionalisme seakan menempati juru kunci di hati para
petinggi-petinggi di singgasana, sementara egoisme berdiri kokoh di
puncak tertinggi dalam diri para petinggi “organisasi”. Kepentingan
kelompok dulu baru kepentingan publik, itulah yang seakan menjadi target
standart operasional prosedur mereka.

Sedikit muak
sebenernya aku membicarakan “mereka”, bisa-bisa kumpulan tulisan semacam
ini menjadi sebuah kitab kalau dikuliti lebih lanjut. Mari tinggalkan
bahasan tentang “mereka”, beralih ke soal publik sepakbola Indonesia.
Sebenarnya Indonesia adalah salah satu Negara di planet ini yang
masyarakatnya sangat menggilai si kulit bundar. Hanya saja sayangnya
kecintaan tersebut dialihkan ke sepakbola luar, menjamurnya tayangan
sepakbola luar berbanding terbalik dengan kondisi sepakbola dalam
negeri. Bisnis merchandise tim-tim lokal dalam negeri seakan jalan di
tempat, namun bisnis merchandise klub-klub luar negeri menjamur dan
menjadi komoditi nasional. Ironis memang, maka daripada itu apa yang
telah diperjuangkan para pendahulu kita macam Soekarno, Soeratin
Sosrosoegondo, Tan Malaka, Mohammad Hatta, dkk. seakan tidak ada artinya
jaman sekarang ini. Namun telaah lebih cermat, nama-nama yang disebut
di atas adalah para founding fathers mulanya kejayaan sepakbola
nasional. Dunia dahulu mensejajarkan Nusantara (Hindia Belanda) dengan
negara-negara raksasa sepakbola, bukan hanya di kawasan Asia namun Eropa
juga dijelajahi. Jerman Timur, Austria Salzburg, Hungaria, Yugoslavia
adalah lawan-lawan yang pernah dijajal Nusantara kala itu. Kok bisa? Itu
semua berkat usaha para Founding Fathers kita.
Soeratin, Tan
Malaka, Soekarno ijinkan saya memohon maaf apabila ada kata-kata atau
kalimat yang salah dalam tulisan ini. Nama yang disebut pertama adalah
seorang founding father berdirinya Organisasi resmi sepakbola
nasional. Ya Soeratin Soegondo adalah salah satu tokoh perjuangan
kemerdekaan Indonesia, cara yang ditempuh demi membebaskan Indonesia
dari penjajahan Belanda cukup unik. Melalui Sepakbola beliau menemukan
cara itu untuk mempersatukan rakyat Indonesia. Soeratin yang telahir
dari keluarga terpelajar memang memiliki pendidikan yang cukup tinggi.
Beliau merupakan lulusan Sekolah Tinggi Teknik Hecklenburg, Jerman.
Soeratin kembali ke Indonesia sekitar tahun
1928, dimana pada waktu itu semangat para pemuda Indonesia sedang
membara dalam memperjuangkan kemerdekaan. Pada tahun 1930 dideklarasikan
Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (nama awal PSSI). Perjuangan
Soeratin dalam mengembangkan sepakbola dalam negeri dilakukan dengan
cara “gerilya” ataupun diam-diam. Hal ini dilakukan untuk menghindari
sergapan badan intelejen Belanda kala itu. Beliau juga menjelajahi
kota-kota di Indonesia guna mempersatukan rakyat Indonesia melalui
pendekatan sepakbola. Saking sibuknya beliau memperjuangkan sepakbola
nasional sampai-sampai beliau keluar dari pekerjaan di perusahaan
‘’Londo” tersebut untuk kemudian mendirikan usaha sendiri. Lambat laun
eksistensi Soeratin sebagai pejuang tercium intelejen Belanda dan
akhirnya kehidupannya menjadi sulit dan rumah pribadinya diobrak-abrik
tentara Belanda. Sampai klimaksnya beliau sakit parah dan mengalami
ekonomi yang sangat sulit. Hingga untuk urusan menebus obatpun tak
sanggup. 1 Desember 1959, Soeratin meninggal dunia di rumahnya yang
berukuran 4x6 meter di jalan Lombok Bandung. Jasadmu memang lenyap tapi
jiwa dan warisan semangatmu mengakar di nusantara. Itu menurutku, tapi
entah bagaimana menurut para petinggi-petinggi penerus Soeratin.

Beda Soeratin beda pula Soekarno. “GANYANG MALAYSIAAAA…”,
urat lehernya keluar bak bayi yang mau lahir, telunjuknya mengarah ke
rakyat dengan semangat dan amarah yang berapi-api, suaranya mengaung
bergema seakan-akan berbicara di dalam goa. Yaa itulah Soekarno,
keteladanan dan kharisma pria yang satu ini memang tak ada yang
menandingi. Saking berkharismanya beliau, sampai-sampai seorang Marilyn
Monroe pun seakan kepincut. Pidato dan orasinya selalu berapi-api dan
membangkitkan nasionalisme rakyat. Inilah cara Soekarno mempersatukan
rakyat Indonesia. Seakan sadar dengan pentingnya sepakbola untuk
mempersatukan rakyat dari ujung pulau we sampai merauke. Soekarno
berpendapat bahwa harga diri bangsa dipertaruhkan melalui sepakbola.
Masih ingat apa yang dilakukan seorang dictator semacam Benitto
Mussolini kepada tim nasional Italia?. Ya, kala itu Mussolini memang
dikenal sebagai salah satu tokoh dunia yang sangat fanatik dengan
sepakbola, apapun dilakukan Mussolini termasuk ancaman pembunuhan agar
sepakbola Italia Berjaya dan tidak dipandang remeh Negara lain. Mungkin
itu yang ingin dianut Soekarno namun dengan cara yang berbeda dengan
Mussolini, kali ini Soekarno memilih cara diplomatis untuk memajukan
sepakbola nasional. Pembangunan-pembangunan fasilitas olahraga terutama
sepakbola mulai dilakukan, kompleks area Senayan menjadi sasarannya.
Soekarno bercita-cita membangun stadion super megah dan kalau bisa
terbesar di Asia. Pada tahun 1962, cita-cita Soekarno terwujud, stadion
megah berkapasitas hampir seratus ribu orang ini diresmikan. Ini
merupakan wujud keseriusan Soekarno untuk memajukan sepakbola nasional. 

Kedekatan Soekarno dengan Negara-negara
beraliran “kiri” kala itu mempermudah pembangunan stadion. Terbukti Uni
Soviet memberikan kredit lunak kepada Indonesia sebesar 12,5 juta Dollar
AS kala itu untuk dana pembangunan stadion. Inilah kecerdikan Soekarno
memanfaatkan diplomatisasi-nya. Soekarno beberapa kali juga terjun
langsung mengamati tim nasional Indonesia, diplomatis memang keahlian
Soekarno, ketika Tim Nasional Indonesia bertanding melawan Austria
Salzburg di Yogyakarta itupun berkat negosiasi Soekarno dengan pemimpin
Austria kala itu. Bahkan Soekarno menjadi aktor penting dibalik
suksesnya tim nasional Indonesia yang lolos ke Olimpiade Melbourne tahun
1956. Lawan-lawan Indonesia kala itu adalah Cekoslowakia, Jerman Timur,
dan Yugoslavia. Soekarno disebut-sebut sering memberikan orasi-orasi
dan motivasi kepada para pemain yang bersifat nasionalis. Kini
kenangan-kenangan itu tersisa pada bangunan-bangunan dan prestasi yang
pernah dicapai tim nasional Indonesia. Inilah Soekarno, kenangan tentang
beliau dan Republik ini memang tidak dapat dipisahkan.
Itu Soekarno,
sebenernya ada beberapa baris lagi yang bisa ditulis tentang beliau tapi
jari dan otak terus-terus menyebut nama seorang pria asal Sumatera
Barat, Tan Malaka namanya. Saya salah satu pengagum karya-karya Tan
Malaka. Madilog, Aksi Massa, Dari Pendjara ke Pendjara, semuanya selalu
selalu berkesan setelah saya baca. Ide-idenya selalu kritis, tulisannya
ber-ambigu namun tajam, Analisa dan prediksinya hampir selalu tepat,
Sayang sekali orang ini dilupakan Negara ini. Indonesia hampir tidak
pernah mencantumkan nama Tan Malaka dalam buku pelajaran di tingkat
dasar, menengah ataupun atas. Sehingga masih banyak yang belum mengenal
Bapak Republik yang satu ini. Pria kelahiran Suliki ini menjadi target
operasi yang paling dicari-cari pada masa penjajahan Belanda. “Pergerakkan terbuka dan halus hanya akan melahirkan masa runtuh”… kurang lebih itu salah satu quote Tan Malaka yang tercantum di Gerpolek. Quote
itu mengibaratkan apabila kita ingin mencapai tujuan namun tidak
mempunyai strategi yang tepat untuk mencapainya maka kegagalan adalah
jaminannya. Ahh terlalu luas bahasan saya ini, saya sempitkan saja
tentang korelasi Tan Malaka dan sepakbola nasional. Begini, Tan Malaka
terlahir memang untuk mencintai si kulit bundar. Tan Malaka adalah
seorang striker merangkap seorang attacking midfielder ulung yang handal.

Ketika diasingkan ke daerah Bayah, Banten,
Tan tumbuh di lingkungan yang dipenuhi orang-orang miskin dan
berpenyakit. Kolera dan penyakit kulit lainnya menyerang orang-orang
daerah Bayah, namun hal itu tidak digubris Tan Malaka. Ia justru aktif
dalam sepakbola daerah sekitar. Bermain sebagai striker handal dan tanpa
alas kaki, bak anak kecil yang girang bermain, Tan menari-nari dan
meliuk-meliuk dengan bola. Pergerakkan tanpa bolanya juga lihai, ini
yang membuat warga Bayah terkagum-kagum dengan sosok Tan. Cerdas,
tangkas dan juga berbeda dengan anak-anak seumurannya, Tan muda tumbuh
sebagai remaja dengan idealism tinggi. Hal ini pula yang membawa Tan
Malaka direkomendasikan untuk melanjutkan sekolah di Rijks Kweekschool,
Harlem, Belanda tahun 1913. Selama dua tahun disana, Tan remaja aktif
dalam sepakbola setempat dan Tan sempat bergabung dengan klub
professional Vlugheid Wint. WOW, bayangkan betapa berharganya
Tan di negeri orang karena aksinya di lapangan hijau. Teman-teman satu
timnya di Vlugheid sudah memiliki alas kaki alias sepatu tapi Tan tetap
enjoy dengan alas kulit telapak kakinya sendiri. Lecet, memar adalah
“hiasan” biasa pada kaki Tan selepas bermain sepakbola.
Sepulangnya ke Indonesia, Tan tetap berjuang
untuk mengakhiri kolonialisme Belanda namun Tan tidak melupakan jiwa
sepakbolanya. Tan sering terlibat obrolan-obrolan kecil tentang
sepakbola bersama pengungsi Belgia yang lari dari serbuan Nazi Jerman
kala itu. Kopi dan sepakbola selalu mengisi sore hari Tan Malaka. Tahun
1919 ketika beliau pulang ke Indonesia, ia bercita-cita untuk mengubah
nasib bangsa Indonesia termasuk dalam hal sepakbola. Pada awal 1920-an,
stigma cultural superioritas colonial Belanda merasuk ke dalam sepakbola
Hindia Belanda saat itu. Sering kali ditemui palang peringatan di depan
lapangan ataupun stadion kecil bertuliskan “Verboden voor Inlanders en Houden” yang jika di-Indonesia-kan berarti “ Dilarang masuk untuk Pribumi dan Anjing”.
Perlawanan tokoh-tokoh seperti Tan Malaka, Sjahrir, Soekarno, Hatta,
dan MH Thamrin kala itu adalah mejadikan semangat sumpah pemuda sebagai
alat untuk mendorong pemuda bergabung melawan kebusukkan NIVB (Nederlands Indish Voetbal Bond)
milik Belanda kala itu. Walaupun kala perlawanan terhadap NIVB
dilancarkan Tan Malaka sedang diusir dari Indonesia dan dibuang ke
Amsterdam, karena aktif dalam gerakan Komunis dan Islam.
Berada di negeri orang, tak membuat Tan
Malaka kehilangan semangat nasionalisnya dan keingin tahuan dirinya
tentang sepakbola nasional. Tan Malaka terus mengikuti perkembangan
sepakbola Indonesia dari Amsterdam. Bahkan Tan juga menjadi aktor
berdirinya PSSI di bawah pimpin Soeratin Sosrosoegondo kala itu.
Sekembalinya ke tanah air tepatnya di Bayah, Banten, Tan tetap aktif
dalam sepakbola. Salah satu wujud keseriusan memajukan sepakbola
nasional kala itu adalah Tan menjadi penggagas pembangunan lapangan
sepakbola di Bayah. Dengan nama samaran Ilyas Hussein seperti yang
diungkap dalam Madilog, Tan tetap aktif bermain sepakbola di Bayah, kali
ini sayap kanan adalah posisinya dan sesekali dia juga menjadi wasit
dalam turnamen Rangkasbitung. Saya petik salah satu kata-kata Tan Malaka
tentang sepakbola, “Apabila kita menonton satu pertandingan
sepakbola, maka lebih dahulu sekali kita pisahkan si pemain mana yang
masuk klub ini, mana pula yang masuk kumpulan itu. Kalau tidak,
bingunglah kita. Kita tidak bisa tahu siapa yang kalah dan siapa yang
menang. Mana yang baik permainannya dan mana yang tidak.”
Seharusnya kata-kata ini yang dicermati para petinggi organisasi PSSI
sekarang, cermati kata-katanya dan pahami makna kata-kata tersebut. Ahh
sudahlah, sebenarnya saya bukan seorang motivator atau nasihator namun
contohlah Tan Malaka. Jiwa revolusionernya tak pernah mati mesti dia
berada di luar Indonesia, dia tetap kembali ke negeri ini untuk
Indonesia dan sepakbola nasional. Inilah Tan Malaka, meskipun jasadnya
entah dimana dan masih menjadi perdebatan tapi semangatnya melekat di
para insan sepakbola nasional. Semoga semua bisa kembali seperti dulu
sesuai keinginanmu Tan.

Saya sebagai penulis mewakili ratusan juta
insan sepakbola Indonesia mengucapkan “SOEKARNO, SOERATIN, TAN MALAKA,
DAN PARA PEJUANG SEPAKBOLA NASIONAL LAINNYA.. KAMI MINTA MAAF ATAS DOSA
GENERASI KAMI”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar