Rabu, 27 Maret 2013

Kerangka Tiga Kata

SOERATIN, TAN MALAKA, SOEKARNO.. MAAFKAN KAMI

IN..DO..NE..SIA… kalimat seperti itu bisa berulang puluhan kali selama 90 menit di Gelora Bung Karno ketika Tim Nasional Indonesia bertanding. Namun apa yang ada dipikiran para supporter ataupun rakyat Indonesia pastilah sama, mereka rindu kejayaan, mereka haus kemenangan, mereka monophause euphoria. Apa dosa rakyat dan supporter Indonesia sehingga mereka harus menerima kenyataan yang terjadi di dalam tubuh Timnas dan PSSI. Belum lama supporter berontak seakan marah dengan pencapaian Timnas era Nurdin Halid, sekarang mereka disuguhkan drama yang lebih ironis dibanding drama-drama sebelumnya. Lakon diperankan aktor-aktor baru namun diproduseri oleh orang-orang lama-lama di balik layar. Publik tau itu, tapi publik hanyalah penonton sejati lakon-lakon tersebut tanpa bisa berbuat banyak. Kalau saja kita teliti sebenarnya banyak hal yang bisa “dikuliti” dari sepakbola Indonesia. Nasionalisme seakan menempati juru kunci di hati para petinggi-petinggi di singgasana, sementara egoisme berdiri kokoh di puncak tertinggi dalam diri para petinggi “organisasi”. Kepentingan kelompok dulu baru kepentingan publik, itulah yang seakan menjadi target standart operasional prosedur mereka.
            Sedikit muak sebenernya aku membicarakan “mereka”, bisa-bisa kumpulan tulisan semacam ini menjadi sebuah kitab kalau dikuliti lebih lanjut. Mari tinggalkan bahasan tentang “mereka”, beralih ke soal publik sepakbola Indonesia. Sebenarnya Indonesia adalah salah satu Negara di planet ini yang masyarakatnya sangat menggilai si kulit bundar. Hanya saja sayangnya kecintaan tersebut dialihkan ke sepakbola luar, menjamurnya tayangan sepakbola luar berbanding terbalik dengan kondisi sepakbola dalam negeri. Bisnis merchandise tim-tim lokal dalam negeri seakan jalan di tempat, namun bisnis merchandise klub-klub luar negeri menjamur dan menjadi komoditi nasional. Ironis memang, maka daripada itu apa yang telah diperjuangkan para pendahulu kita macam Soekarno, Soeratin Sosrosoegondo, Tan Malaka, Mohammad Hatta, dkk. seakan tidak ada artinya jaman sekarang ini. Namun telaah lebih cermat, nama-nama yang disebut di atas adalah para founding fathers mulanya kejayaan sepakbola nasional. Dunia dahulu mensejajarkan Nusantara (Hindia Belanda) dengan negara-negara raksasa sepakbola, bukan hanya di kawasan Asia namun Eropa juga dijelajahi. Jerman Timur, Austria Salzburg, Hungaria, Yugoslavia adalah lawan-lawan yang pernah dijajal Nusantara kala itu. Kok bisa? Itu semua berkat usaha para Founding Fathers kita.
            Soeratin, Tan Malaka, Soekarno ijinkan saya memohon maaf apabila ada kata-kata atau kalimat yang salah dalam tulisan ini. Nama yang disebut pertama adalah seorang founding father berdirinya Organisasi resmi sepakbola nasional. Ya Soeratin Soegondo adalah salah satu tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia, cara yang ditempuh demi membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda cukup unik. Melalui Sepakbola beliau menemukan cara itu untuk mempersatukan rakyat Indonesia. Soeratin yang telahir dari keluarga terpelajar memang memiliki pendidikan yang cukup tinggi. Beliau merupakan lulusan Sekolah Tinggi Teknik Hecklenburg, Jerman.
Soeratin kembali ke Indonesia sekitar tahun 1928, dimana pada waktu itu semangat para pemuda Indonesia sedang membara dalam memperjuangkan kemerdekaan. Pada tahun 1930 dideklarasikan Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (nama awal PSSI). Perjuangan Soeratin dalam mengembangkan sepakbola dalam negeri dilakukan dengan cara “gerilya” ataupun diam-diam. Hal ini dilakukan untuk menghindari sergapan badan intelejen Belanda kala itu. Beliau juga menjelajahi kota-kota di Indonesia guna mempersatukan rakyat Indonesia melalui pendekatan sepakbola. Saking sibuknya beliau memperjuangkan sepakbola nasional sampai-sampai beliau keluar dari pekerjaan di perusahaan ‘’Londo” tersebut untuk kemudian mendirikan usaha sendiri. Lambat laun eksistensi Soeratin sebagai pejuang tercium intelejen Belanda dan akhirnya kehidupannya menjadi sulit dan rumah pribadinya diobrak-abrik tentara Belanda. Sampai klimaksnya beliau sakit parah dan mengalami ekonomi yang sangat sulit. Hingga untuk urusan menebus obatpun tak sanggup. 1 Desember 1959, Soeratin meninggal dunia di rumahnya yang berukuran 4x6 meter di jalan Lombok Bandung. Jasadmu memang lenyap tapi jiwa dan warisan semangatmu mengakar di nusantara. Itu menurutku, tapi entah bagaimana menurut para petinggi-petinggi penerus Soeratin.
            Beda Soeratin beda pula Soekarno. “GANYANG MALAYSIAAAA…”, urat lehernya keluar bak bayi yang mau lahir, telunjuknya mengarah ke rakyat dengan semangat dan amarah yang berapi-api, suaranya mengaung bergema seakan-akan berbicara di dalam goa. Yaa itulah Soekarno, keteladanan dan kharisma pria yang satu ini memang tak ada yang menandingi. Saking berkharismanya beliau, sampai-sampai seorang Marilyn Monroe pun seakan kepincut. Pidato dan orasinya selalu berapi-api dan membangkitkan nasionalisme rakyat. Inilah cara Soekarno mempersatukan rakyat Indonesia. Seakan sadar dengan pentingnya sepakbola untuk mempersatukan rakyat dari ujung pulau we sampai merauke. Soekarno berpendapat bahwa harga diri bangsa dipertaruhkan melalui sepakbola. Masih ingat apa yang dilakukan seorang dictator semacam Benitto Mussolini kepada tim nasional Italia?. Ya, kala itu Mussolini memang dikenal sebagai salah satu tokoh dunia yang sangat fanatik dengan sepakbola, apapun dilakukan Mussolini termasuk ancaman pembunuhan agar sepakbola Italia Berjaya dan tidak dipandang remeh Negara lain. Mungkin itu yang ingin dianut Soekarno namun dengan cara yang berbeda dengan Mussolini, kali ini Soekarno memilih cara diplomatis untuk memajukan sepakbola nasional. Pembangunan-pembangunan fasilitas olahraga terutama sepakbola mulai dilakukan, kompleks area Senayan menjadi sasarannya. Soekarno bercita-cita membangun stadion super megah dan kalau bisa terbesar di Asia. Pada tahun 1962, cita-cita Soekarno terwujud, stadion megah berkapasitas hampir seratus ribu orang ini diresmikan. Ini merupakan wujud keseriusan Soekarno untuk memajukan sepakbola nasional.
Kedekatan Soekarno dengan Negara-negara beraliran “kiri” kala itu mempermudah pembangunan stadion. Terbukti Uni Soviet memberikan kredit lunak kepada Indonesia sebesar 12,5 juta Dollar AS kala itu untuk dana pembangunan stadion. Inilah kecerdikan Soekarno memanfaatkan diplomatisasi-nya. Soekarno beberapa kali juga terjun langsung mengamati tim nasional Indonesia, diplomatis memang keahlian Soekarno, ketika Tim Nasional Indonesia bertanding melawan Austria Salzburg di Yogyakarta itupun berkat negosiasi Soekarno dengan pemimpin Austria kala itu. Bahkan Soekarno menjadi aktor penting dibalik suksesnya tim nasional Indonesia yang lolos ke Olimpiade Melbourne tahun 1956. Lawan-lawan Indonesia kala itu adalah Cekoslowakia, Jerman Timur, dan Yugoslavia. Soekarno disebut-sebut sering memberikan orasi-orasi dan motivasi kepada para pemain yang bersifat nasionalis. Kini kenangan-kenangan itu tersisa pada bangunan-bangunan dan prestasi yang pernah dicapai tim nasional Indonesia. Inilah Soekarno, kenangan tentang beliau dan Republik ini memang tidak dapat dipisahkan.

            Itu Soekarno, sebenernya ada beberapa baris lagi yang bisa ditulis tentang beliau tapi jari dan otak terus-terus menyebut nama seorang pria asal Sumatera Barat, Tan Malaka namanya. Saya salah satu pengagum karya-karya Tan Malaka. Madilog, Aksi Massa, Dari Pendjara ke Pendjara, semuanya selalu selalu berkesan setelah saya baca. Ide-idenya selalu kritis, tulisannya ber-ambigu namun tajam, Analisa dan prediksinya hampir selalu tepat, Sayang sekali orang ini dilupakan Negara ini. Indonesia hampir tidak pernah mencantumkan nama Tan Malaka dalam buku pelajaran di tingkat dasar, menengah ataupun atas. Sehingga masih banyak yang belum mengenal Bapak Republik yang satu ini. Pria kelahiran Suliki ini menjadi target operasi yang paling dicari-cari pada masa penjajahan Belanda. “Pergerakkan terbuka dan halus hanya akan melahirkan masa runtuh”… kurang lebih itu salah satu quote Tan Malaka yang tercantum di Gerpolek.  Quote itu mengibaratkan apabila kita ingin mencapai tujuan namun tidak mempunyai strategi yang tepat untuk mencapainya maka kegagalan adalah jaminannya. Ahh terlalu luas bahasan saya ini, saya sempitkan saja tentang korelasi Tan Malaka dan sepakbola nasional. Begini, Tan Malaka terlahir memang untuk mencintai si kulit bundar. Tan Malaka adalah seorang striker merangkap seorang attacking midfielder ulung yang handal.
Ketika diasingkan ke daerah Bayah, Banten, Tan tumbuh di lingkungan yang dipenuhi orang-orang miskin dan berpenyakit. Kolera dan penyakit kulit lainnya menyerang orang-orang daerah Bayah, namun hal itu tidak digubris Tan Malaka. Ia justru aktif dalam sepakbola daerah sekitar. Bermain sebagai striker handal dan tanpa alas kaki, bak anak kecil yang girang bermain, Tan menari-nari dan meliuk-meliuk dengan bola. Pergerakkan tanpa bolanya juga lihai, ini yang membuat warga Bayah terkagum-kagum dengan sosok Tan. Cerdas, tangkas dan juga berbeda dengan anak-anak seumurannya, Tan muda tumbuh sebagai remaja dengan idealism tinggi. Hal ini pula yang membawa Tan Malaka direkomendasikan untuk melanjutkan sekolah di Rijks Kweekschool, Harlem, Belanda tahun 1913. Selama dua tahun disana, Tan remaja aktif dalam sepakbola setempat dan Tan sempat bergabung dengan klub professional Vlugheid Wint. WOW, bayangkan betapa berharganya Tan di negeri orang karena aksinya di lapangan hijau. Teman-teman satu timnya di Vlugheid sudah memiliki alas kaki alias sepatu tapi Tan tetap enjoy dengan alas kulit telapak kakinya sendiri. Lecet, memar adalah “hiasan” biasa pada kaki Tan selepas bermain sepakbola.
Sepulangnya ke Indonesia, Tan tetap berjuang untuk mengakhiri kolonialisme Belanda namun Tan tidak melupakan jiwa sepakbolanya. Tan sering terlibat obrolan-obrolan kecil tentang sepakbola bersama pengungsi Belgia yang lari dari serbuan Nazi Jerman kala itu. Kopi dan sepakbola selalu mengisi sore hari Tan Malaka. Tahun 1919 ketika beliau pulang ke Indonesia, ia bercita-cita untuk mengubah nasib bangsa Indonesia termasuk dalam hal sepakbola. Pada awal 1920-an, stigma cultural superioritas colonial Belanda merasuk ke dalam sepakbola Hindia Belanda saat itu. Sering kali ditemui palang peringatan di depan lapangan ataupun stadion kecil bertuliskan “Verboden voor Inlanders en Houden” yang jika di-Indonesia-kan berarti “ Dilarang masuk untuk Pribumi dan Anjing”. Perlawanan tokoh-tokoh seperti Tan Malaka, Sjahrir, Soekarno, Hatta, dan MH Thamrin kala itu adalah mejadikan semangat sumpah pemuda sebagai alat untuk mendorong pemuda bergabung melawan kebusukkan NIVB (Nederlands Indish Voetbal Bond) milik Belanda kala itu. Walaupun kala perlawanan terhadap NIVB dilancarkan Tan Malaka sedang diusir dari Indonesia dan dibuang ke Amsterdam, karena aktif dalam gerakan Komunis dan Islam.
Berada di negeri orang, tak membuat Tan Malaka kehilangan semangat nasionalisnya dan keingin tahuan dirinya tentang sepakbola nasional. Tan Malaka terus mengikuti perkembangan sepakbola Indonesia dari Amsterdam. Bahkan Tan juga menjadi aktor berdirinya PSSI di bawah pimpin Soeratin Sosrosoegondo kala itu. Sekembalinya ke tanah air tepatnya di Bayah, Banten, Tan tetap aktif dalam sepakbola. Salah satu wujud keseriusan memajukan sepakbola nasional kala itu adalah Tan menjadi penggagas pembangunan lapangan sepakbola di Bayah. Dengan nama samaran Ilyas Hussein seperti yang diungkap dalam Madilog, Tan tetap aktif bermain sepakbola di Bayah, kali ini sayap kanan adalah posisinya dan sesekali dia juga menjadi wasit dalam turnamen Rangkasbitung. Saya petik salah satu kata-kata Tan Malaka tentang sepakbola, “Apabila kita menonton satu pertandingan sepakbola, maka lebih dahulu sekali kita pisahkan si pemain mana yang masuk klub ini, mana pula yang masuk kumpulan itu. Kalau tidak, bingunglah kita. Kita tidak bisa tahu siapa yang kalah dan siapa yang menang. Mana yang baik permainannya dan mana yang tidak.” Seharusnya kata-kata ini yang dicermati para petinggi organisasi PSSI sekarang, cermati kata-katanya dan pahami makna kata-kata tersebut. Ahh sudahlah, sebenarnya saya bukan seorang motivator atau nasihator namun contohlah Tan Malaka. Jiwa revolusionernya tak pernah mati mesti dia berada di luar Indonesia, dia tetap kembali ke negeri ini untuk Indonesia dan sepakbola nasional. Inilah Tan Malaka, meskipun jasadnya entah dimana dan masih menjadi perdebatan tapi semangatnya melekat di para insan sepakbola nasional. Semoga semua bisa kembali seperti dulu sesuai keinginanmu Tan.

Saya sebagai penulis mewakili ratusan juta insan sepakbola Indonesia mengucapkan “SOEKARNO, SOERATIN, TAN MALAKA, DAN PARA PEJUANG SEPAKBOLA NASIONAL LAINNYA.. KAMI MINTA MAAF ATAS DOSA GENERASI KAMI”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar